scopus

Ketika Seorang Guru Besar Meminta Stop Publikasi Terindeks Scopus Karena Abal-Abal

Nazroel.id – Berita surat kabar harian Galamedia terbitan 6 Januari 2018 menarik untuk disimak pada rubrik Kabar Pendidikan dengan judul “Hentikan Publikasi Internasional Scopus”, Prof. Idrus Affandi, “Indeks Tersebut Abal-Abal”.

Guru Besar Bidang Pendidikan Politik Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Idrus Affandi, mengkritisi kebijakan pemerintah terkait kewajiban dosen dan mahasiswa untuk melakukan publikasi internasional terindeks Scopus.

“Kebijakan ini, tanpa disadari, mengarah pada kolonialisasi intelektual dan mengabaikan nasionalisme pendidikan” ujarnya.

Dikatakannya, meningkatkan kualitas pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan keniscayaan, akan tetapi, upaya yang dilakukan tidak boleh mengarah pada internasionalisasi semu yang justru menjebak duni pendidikan kita terpelanting ke jurang keterpurukan.

Menurutnya, kewajiban bagi dosen yang memilki jenjang lektor kepala/magister atau lektor kepala/doktor serta profesor membuat jurnal internasional memang harus didukung. Akan tetapi, katanya, mengapa harus Scopus, Thomson, atau Scimago?

“Kebijakan ini tidak dengan sendirinya membawa dunia pendidikan semakin membaik, bahkan justru menempatkan pendidikan Indonesia pada posisi tidak terhormat” ungkapnya.

Kapitalisasi

Idrus menegaskan, semua lembaga indeks tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari kapitalisasi pendidikan. Persoalannya, kata Idrus, mengapa kaum intelektual kita harus membaya kepada kapitalisme?

“Sudah membayar kepada mereka, toh mereka kemudian mendapatkan hasil penelitian kita. Padaha, penelitian menggunakan biaya yang tidak kecil disertai usaha besar. Lazimnya, jika kita yang melakukan penelitian, maka kita pula memanfaatkan penelitian itu untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia” ujarnya.

Selengkapnya :

Profil publikasi penulis di Google Scholar

Profil publikasi di Scopus

Penelusuran di 2 mesin pengindeks Google Scholar/Google Cendekia dan Scopus dapat disimpulkan penulis belum pernah publikasi Jurnal Internasional yang terindeks Scopus.

Gambar 2. 1 Perbandingan istilah untuk penerbitan Elsevier dan Indonesia

Pemerintah dalam hal ini Kemenristekdikti telah meluncurkan Sinta, portal pemeringkat, kinerja, dan analisis  riset yang juga terintegrasi dengan mesin pengindeks Scopus dan Google Scholar. Mesin pengindeks juga sudah dimiliki yakni ISJD dan IPI. Langkah ini merupakan solusi apa yang di sarankan oleh Prof. Idrus Affandi.

Baca ini yuu :   28 Jurnal Indonesia yang Terindeks Scopus Berdasarkan Panduan Kemenristekdikti

Sayangnya, seorang guru besar menyarankan untuk tidak publikasi jurnal internasional yang terindeks Scopus dirasa kurang tepat, terlebih menganggap pengindeks abal-abal dan disampaikan oleh seseorang yang belum merasakan bagaimana publikasi di jurnal internasional terindeks Scopus.

Memang ada beberapa jurnal internasional terindeks scopus yang dinyatakan predator oleh Kemenristekdikti, tapi itu hanyalah sebagian kecilnya, dan Scopus terus melakukan evaluasi seperti pada tulisan saya sebelumnya.

Paling penting adalah mari kita berusaha berkarya dalam bentuk tulisan maupun lisan yang bisa bermanfaat bagi diri, orang lain, dan juga masyarakat banyak termasuk dunia internasional.

Bagaimana menurut anda?

About nazroelwathoni

Hi, selamat datang di blog pribadi saya yang dikemas santai dan mengutamakan manfaat. Hanya sekedar menuliskan apa yang ada di kepala saya ketika menulis di blog ini. Semoga bermanfaat!

Check Also

Cara Kelola Data untuk Systematic Review dan Meta-Analisis dengan Cochrane RevMan Web

Nazroel.id – Systematic review dan meta-analisis adalah metode penelitian yang mengintegrasikan hasil dari berbagai studi …

12 comments

  1. Beda prof jaman now dgn prof jadul

  2. wah pak topiknya menarik nuhun sudah sharing meskipun saya ga bergelut di dunia peneilitaian skrg tapi merasa diperkaya ilmunya dengan baca blog bapak hehe. saya mengamati dan membaca tautan lain soal isu ini hehe, nuhun pak

  3. Terkait soal “membayar” tampaknya saya hampir mengalaminya pak (semoga :). Saat ini paper saya masuk round 2 di jurnal Q1 penerbit Elsevier. Tapi ini simalakama pak (seperti tulisan anda dulu ttg APC) karena biaya 1500$. Jika akhirnya accepted apakah saya harus melanjutkannya? mohon saran anda (saya mhs S3 dan saat ini sudah biaya sendiri). Terimakasih.

  4. blog bapak sangat hitz sekarang , di unair juga dituntut scopus dosen sama mahasiswa nya pak

  5. Banyak juga journal scopus tidak dibayar, cari saja yg tidak dibayar, yg penting kualitas artikelnya bagus, dan punya keharuan pasti diterima

  6. M. Galib Ishak

    May 24, 2018 at 10:44 am
    Your comment is awaiting moderation.
    Banyak juga journal scopus tidak dibayar, cari saja yg tidak dibayar, yg penting kualitas artikelnya bagus, dan punya kebaruan pasti diterima

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.